Selasa, 23 Oktober 2012

peljaran berharga


Semua berawal tanpa disadari, sore itu kira-kira bayangan matahari hendak menyamai ukuran aslinya, masuklah sebuah pesan—ya seperti kebanyakan pesan yang masuk—yang langsung dibuka dengan perhatian yang setengah-setengah. Namanya juga orang yang baru berjalan sejauh enam kilometer, tentunya dibawah bayang-bayang terik matahari kota universitas. Setelah dibukanya pesan tadi, sontak perhatian terfokus, karena selain pesan itu tanpa nama, bahasa dan kedekatan  dalam pesan itu seperti seorang teman yang bisa dikatakan lumayan akrab. Dengan agak sedikit dihiraukan, pesan tadi langsung ditutup, karena acara silaturahmi anak tafsir hadits yang menjadi tujuan kedatanganku itu, sudah diramaikan oleh para panitia yang memegang kendali pemilihan ketua tafsir hadits angkatan 2012 itu.
Setelah matahari mulai malu-malu dan pergi begitu saja dengan meninggalkan kegelapan yang penuh arti. Terbersitlah sebuah ide—meskipun tak henti-hentinya ketakutan dan keraguan menyelubungi  hati dan fikiran—untuk  mengumpulkan teman-teman yang memang sudah lama tidak saling lempar canda yang dibumbui sedikit atau banyak rasa malu, saling jatuhkan senyum, saling lontar pandangan, bahkan yang dirasa sedikit ekstrim diantaranya ialah berlomba menerbangkan para kaum hawa dengan segudang kata-kata yang agak sedikit nakal rasanya. Tak peduli itu disambut baik dengan rekah senyum oleh sang korban, atau malah disambut sinis dengan hasil malu yang tiada kira dari sang ‘pejuang’, meskipun sebenarnya tidak pernah  terjadi sang ‘pejuang’ lari tunggang langgang bak rusa hutan, karena malu. Memang saat ramai seperti itu tidak semua orang peduli terhadap hal yang dirasa indah semacam itu, ada juga yang berdingin-dingin ria sambil menampakkan wajah bekunya. Jika sedikit direnungkan, justru itulah kemudian yang menjadi bumbu rahasia dibalik gencarnya suasana meriah tersebut.
Masa muda masa yang berapi-api, ungkapan bung Roma yang membuming sekitar tahun 70-an tersebut, ternyata masih relevan dengan kondisi remaja masa kini. Diakui atau tidak, percaya atau tidak itulah yang terjadi kala perkumpulan menjadi sebuah pupuk kompos yang sangat luarbiasa, untuk menjadikan spirit bagaikan api unggun raksasa dipuncak Himalaya. Tak terkecuali, sentuhan para sesepuh menjadi aktor utama dalam suksesnya sebagian para pejuang dalam rangka terbang-menerbangkan para korban-nya.
Dengan sedikit penuh kesalahan dibulatkanlah tekad untuk mengajak keluarga tercinta  menuju pada ‘kebahagiaan’. Dengan harapan yang setinggi langit itu, dibangunlah sebuah formulasi kata-kata yang tidak sampai memakan dua pesan. Meskipun tidak serumit membuat makalah, tetapi diksi yang digunakan tidak boleh terkesan memaksa. Target sasaran bangunan kata tersebut bukan kepada kepatuhan dan hormat kepada sesama keluarga, tetapi dirasa lebih halus kepada kesadaran akan kemenangan bersama menuju ‘kebahagian’. Meskipun tersendat juga karena mungkin perkara geografis yang kurang memadai adanya jaringan, yang diluar kendali. Nomer-nomer tersayang lantas dihadirkan dan direnungkan, adakah yang terlewat? Adakah yang belum dimasukan?, meskipun sempat hadir pula serta terlintas, respon apa yang akan diberikan?. Seiring berjalanya waktu, pesan itu mulai tersebar di kurang lebih seantero plat AB.
Senyum lebar tak dapat dibendung ketika berbagai pesan masuk dari nomer-nomer yang sudah lazim itu. Memang demikianlah yang dipikirkan sebelumnya, demikian sawangan yang kemudian menjadi nyata, kata insya Allah menjadi aktor utama dan memang primadona dalam berbagai responnya. Rasa lega pun mulai tumbuh seiring padat merayapnya pesan yang masuk, sehingga menjadikan segala sesuatu terasa ringan, bahkan enam kilometer pun sempat terlupakan beberapa saat. Larutnya malam tidak menjadi tanda larutnya semangat untuk berduel dengan lawan sejati, adu strategi, penempatan posisi pemain, pemilihan club kesangan liga inggris menjadi agenda selanjutnya dalam buaian malam yang semakin membius.
Terlambatnya bangun pada pagi itu, hari senin tepatnya, merupakan awal yang kurang baik dalam rangka menjemput dan menjelajahi hari yang benar-benar mengadu domba. Hari itu seakan sengaja dibuat untuk menabrakan berbagai agenda yang seabreg banyaknya. Mendaki kampus dan keluar masuk hutan pendidikan seakan telah menjadi akhlaq dalam beraktifitas, benar-benar hal itu tidak perlu rasanya untuk dipikirkan. Mendengarkan siraman rohani dari ceramah dosen juga lama-kelamaan semakin memanjakan mata untuk beristirahat, tak apa tidur dikelas juga, toh ilmunya ada dibuku, bisa dibaca sendiri, demikian kira-kira guman kelopak mata kepada si hati yang selalu jaim.
Saat panas matahari mulai melamah, adzan ashar pun terdengar bagaikan sorak-sorai sekumpulan burung yang sangat banyak. Dimulai dari handphone yang senantiasa mengumandangkan adzan, sampai  speker yang tadinya berfungsi sebagai pengumuman akademik pun pada saat yang hampir berbarengan, serentak meninggikan nama pencipta alam semesta ini sambil memuji utusan-Nya Yang sangat terpuji, dan mengajak orang-orang untuk berbondong-bondong menuju mesjid. Tapi pada saat yang berbarengan pula silat lidah sang dosen terus berapi-api mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Sampai akhirnya sampai pada kata yang ditunggu-tunggu semua orang, “baik waktunya tiga menit lagi, bagi ada yang bertanya, tanyakan minggu depan, mari kita tutup dengan bacaan hamdalah, waalaikumsalam..”. sambil mengumpulkan kedua tugas yang dibebankan minggu kemarin, beraraklah para pendengar setia itu menuju keluar.
Ketegangan yang akan dirasakan manusia, selama dia hidup, tidak akan pernah hilang. Habis lega dari ketegangan yang satu, kembali ditegangkan oleh ketegangan-ketegangan yang lain, demikian kira-kira tafsiran surat Al-Insirah jika ditarik dalam konteks ini, “inilah hidup”. Begitu gumamku. Setelah  keluar dari hutan pengajaran itu, langkah maju yang semakin cepat akhirnya berhenti pada sebuah mushola kecil dipojok bangunan fakultasku. Dengan wajah agak basah bekas tersiram air wudlu, dan dengan ketegangan yang terlukis jelas pada wajahku saat berkaca, setelah itu aku memberanikan diri untuk menghampiri sebuah perkumpulan—salah satu organisasi yang diikutiku—untuk mengikuti rapat sore. Sebelumnya dengan terbata-bata dan setengah ragu, aku berusaha mengingatkan para tersayang akan acara yang semalam direncanakan serta diumumkan. Tidak seperti sebelumnya, sekarang, seiring banyaknya pesan yang masuk sebagai respon aksiku tadi, lukisan tegang tetap tidak bisa begitu saja dihilangkan. setengah murung aku membaca satu-persatu pesan yang masuk sambil berpikir, apa yang salah? Apa yang salah?. Meskipun sebenarnya sudah disadari bahwa ke-mendadakan-nya itulah salah satu kesalahan besar yang aku ciptakan sendiri.
Bayang-bayang rasa tidak percaya terus menggerayuti hati dan fikiranku, kemenagan dan ‘kebahagiaan yang idamkan, sekarang seakan sirna tak berpamit. Entah kemana perginya. Sampai akhirnya simbol kemenangan berkumandang, refleks kata hamdalah yang pertama keluar, meskipun tetap masih dibawah bayang-bayang rasa sulit memaafkan diri sendiri. Setelah bercengkrama dengan kurang khusu bersama Tuhan, meski dengan kaki agak gemetaran aku berusaha menuju kebahagian yang diskenariokan sendiri sebagai kebaghagiaan paling  luar biasa. Itulah kebahagiaan yang nyata, melapas dahaga dan melenyapkan rasa lapar yang terus berkomentar dari siangnya.
Sambil berpikir untuk membalikan keadaan, aku berusaha mencari solusi, minimalnya bisa meminta ketulusan maaf dari tersayang yang katanya tidak kebagian pesan rencana ‘kebahagiaan’ tadi malam. Dengan semangat islah dia terus berkomunikasi dengan nomer yang belum diberi nama untuk kemudian berunding dan sharing, meskipun niat utamanya bertemu dan mengobrol masalah pembentukan divisi-divisi organisasi, itulah mungkin obat mujarab dikala badai pusing melanda. Laksana Jiwa yang tersiram air kehidupan, terasa segar lagi ketika mendapat respon yang sangat membahagiakan, “iya bisa, aku kan wonder women, tapi setelah beres makan ya, soalnya tadi habis rapat, mau ikut acranya takut nggak ada temen, maaf ya” demikianlah kira-kira air kehidupan itu. Entah dapat petuah dari mana, dan entah bagaimana ceritanya, nomer yang belum bernama itu kuanggap sebagai seseorang yang rumahnya dekat dengan kampus, mungkin alasan yang paling kuat adalah, bahwa pada pesan sebelumnya nama orang yang dekat rumahnya dengan kampus itu pernah muncul. Akhirnya dengan rasa optimis yang begitu dalam diyakinanilah bahwa nomer itu adalah dia, yang rumahnya dekat dengan kampus. Untuk simbol kedekatan lantas kata “curhat” yang dipilih untuk mengirim pesan sebagai maksud dari perlunya sharing tersebut. Sebelum hendak menghadapnya, terlintas gagasan untuk membeli buah tangan, minimal berupa minuman segar yang pas dinikmati sehabis menuju ‘kebahagiaan’, tanpa ragu dan dengan koceh seadanya beranilah untuk berdiri dan memilih-milih minuman mana yang pas di dalam indomaret sederhana itu.
Adzan isya mulai terdengar dimana-mana, sebagai pertanda mega merah yang berada di barat sudah pupus. Langkah yang begitu meyakinkan kutempuh menuju kediaman yang rumahnya dekat dengan kampus, tetapi getar handphone di saku berhasil menahan segala pergerakanku, dengan wajah lelah, terbacalah pesan yang menyatakan dia belum berada di kediamannya, “nanti kalau sudah di kediaman beritahu ya”, demikian sambutku, sebagai jawaban atas pesan ketiadaan di kediamannya tersebut. “Okke siip”, demikian jawaban dia yang rumahnya dekat kampus. Wajah murung dengan menatap langit gelap, terus memberi suasana melankolis pada hati dan fikiran, diputuskanlah untuk pulang dahulu, meskipun jaraknya dirasa jauh.
Persis setelah datang dirumah, setalah sebelumnya menyapa hangat para tersayang lainya, masuklah pesan yang menyatakan dia sudah berada di kediamanya. Sekali lagi air kehidupan itu menyirami hati yang hampir layu ini. Dengan kerjasama bersama seorang tersayang, berangkatlah dengan memakai motor menuju rumah kediamanya. Rasa buntu dialamai ketika melihat handphone mati tanpa sekarat, dengan balutan almamater sekolahku dulu dan sebelah lengan memegang helm, aku masuk halaman pintu rumah yang kala itu agak susah dibuka. “permisi Bu, dia yang rumahnya dekat kampus ada Bu?”, tegas jawabnya, “maaf Mas, tidak ada, baru saja dia keluar, katanya mau beli jagung bakar”. Rasa aneh mulai menggoda fikiranku. Satu hal yang muncul dikepala adalah kembali ke rumah dan mengisi battery yang tadinya mati suri itu. handphone kembali hidup bagaikan baru disihir. “kok belum datang juga?, padahal ini sudah di rumah”, begitulah isi pesan yang diterima setelah di rumah, “tadi saya sudah ke rumahmu, tapi kata bu kost nya sedang keluar”, jawaban bernada pembelaan tak bisa dielakan munculnya dari benakku, “sebentar, kost yang dimana?, masalahnya di tempat kediamanku tak ada bu kost”, saling bela akan pendirian mulai terjadi, dan itu benar-benar terasa segar bagaikan jalan menuju titik pertemuan yang dinantikan. “ya kost yang biasalah, kamu kan disana, itu bu kost yang tempatnya di lantai satu, yang suka menjahit”, kemudian datang seuntai jawaban yang menyesakkan, “ini benarkan pesan buat saya, yang rumahnya jauh dari kampus?, bingung”, serasa melihat matahari terbelah, benar-benar tidak percaya. Tapi kemudaian hadirlah sebuah kejelasan mengenai kekeliruan yang sangat besar untuk kedua kalinya. Ternyata—meski dengan sedikit tak percaya—nomor tak bernama yang  selama ini dianggapnya sebagai dia yang rumahnya dekat dengan kampus, adalah dia yang rumahnya jauh dari kampus. Memang benar pula aku tidak pernah tahu dimana tepatnya rumah dia yang jauh dari kampus itu.
Rasa tak percaya terus menggoda hati untuk menangis sekeras-kerasnya. Dengan sedikit usaha, aku berusaha membuktikan kebenaran itu, setelah dilihat nomer itu baik-baik dan disamakan dengan handphone yang lainya, bagai disambar petir di siang bolong, ternyata benar nomer itu milik dia yang jauh rumahnya dari kampus. Terbukalah segala kerancuan yang menghancurkan hati sembari mencekik erat-erat urat leherku. Ternyata pesan yang didapat saat minggu sore itu, nomer dia yang jauh rumahnya dari kampus. Kenyataan ini sangat sulit sekali diterima, rasanya fisik ini tidak pernah siap menerima kebenaran, sehingga sekali mendapat kebenaran bagaikan dicabik gigi tajam serigala. Begitu sakit dan ngilu, jerit tangis yang terbatas dalam ruang hati pun serentak menambah kacau keadaan, benar-benar jasad ini bagaikan fenomena gunung es, bahkan bagaikan gunung es yang siap meletupkan lahar panas serta amukan batu dan debu ke segala arah.
Rasa sesal tiada tara tidak saja tertuju pada diri ini yang begitu ceroboh, tetapi juga sebagian amuk itu tertuju pada handphone yang dirasa tidak logis. Padahal jelas-jelas nomer Hp dia yang jauh rumahnya dari kampus, sudah di-save baik-baik, malahan ada dua nama berbeda dengan satu nomer yang sama, tetapi setiap ada pesan masuk dari nomernya tidak tertera nama sebagaimana yang telah dibuat. Dalam hati berkata, “mungkin ada nomer tersebut yang pernah di-save tanpa nama, sehingga ketika ada ada pesan masuk, yang muncul adalah save-an yang tidak bernama tersebut. Hasil mengecewakan akhirnya didapat, dalam handphone yang kolot ini hanya ada empat nomer yang tidak diberi nama, dan nomernya jelas-jelas tidak ada.
Meski penting, ucapan maaf kala itu menjadi kecil, bila dibandingkan dengan kekesalan dalam diri, sehingga timbul anggapan, bagaimana mungkin dia mudah memaafkan ini, sedangkan pribadi pun susah memaafkan diri. Bingung tiada bertepi, mengharap keajaiban yang mustahil adanya, karena keinginan adalah kembali ke minggu sore dan memulai lagi semuanya dengan benar. Tidak tahu bagaimana perasaannya tapi yang jelas tergambar dalam benakku rasa tak karuan sama berlabuh dalam hatinya, yang rumahnya jauh dari kampus, sebagaimana perasaan itu mendarat tepat dihatiku.
Melewati masalah ini tanpa merenungkan ‘pelajaran’ yang dapat dipetik, merupakan kesalahan besar ketiga nantinya. Biarlah dua kesalahan dan kealpaan masa lalu menjadi bibit bagi kebenaran di masa mendatang, begitu kira-kira harapan yang muncul, setelah sebelumnya semua harapan sudah ludes. Ke-mendadak-an, ceroboh, so tahu, merupakan sebagian rangkaian kesalahan yang sangat menghantui, diantara kesalahan-kesalahan lain yang tidak muat rasanya bila harus ditulis dalam ruang yang serba terbatas ini. Memang fikiran untuk menjadi lebih baik, berjanji tidak mengulangi, tidak akan terjerumus lubang yang samam dua kali, lebih banyak belajar, siap teliti dalam segala aspek, menjadi bintang film dalam tanyangan dan bayangan fikiran dan hati. Lebih jauh dari itu semua, hal mendasar yang harus segara dibenahi berupa minta maaf yang sebesar-besarnnya juga turut menjadi sutradara dalam film tersebut. Memaafkan memang tidak semudah membalikan telapak tangan, memang benar juga ungkapan Irfan Amalee dalam bukunya Boleh Dong Salah, “kata maaf adalah kata paling mahal didunia”. Bersebrangan dengan ungkapan sebagian orang yang ‘selalu ingin dimaafkan’, “masa Tuhan aja Maha Pemaaf”, rasanya sangat tidak pantas bagiku untuk mengikuti jejak langkah kaum ‘pemaksa’ tersebut, tapi sekiranya mampu dengan hati tulus untuk memaafkan, bagiku merupakan hujan air kehidupan yang baru turun setelah setahun lamanya kemarau melanda.
Sebesar kesalahanku, demikianlah pinta dan harapan maaf bagiku.