Semua berawal tanpa disadari, sore itu kira-kira
bayangan matahari hendak menyamai ukuran aslinya, masuklah sebuah pesan—ya seperti kebanyakan pesan yang masuk—yang langsung
dibuka dengan perhatian yang setengah-setengah. Namanya juga orang yang baru
berjalan sejauh enam kilometer, tentunya dibawah bayang-bayang terik matahari
kota universitas. Setelah dibukanya pesan tadi, sontak
perhatian terfokus, karena selain pesan itu tanpa nama,
bahasa dan kedekatan dalam pesan itu seperti seorang teman yang bisa dikatakan lumayan
akrab. Dengan agak sedikit dihiraukan, pesan tadi langsung
ditutup, karena acara silaturahmi anak tafsir hadits yang menjadi tujuan
kedatanganku itu, sudah diramaikan
oleh para panitia yang memegang kendali pemilihan ketua tafsir hadits angkatan
2012 itu.
Setelah matahari mulai malu-malu dan pergi begitu saja
dengan meninggalkan kegelapan yang penuh arti. Terbersitlah sebuah ide—meskipun
tak henti-hentinya ketakutan dan keraguan menyelubungi hati dan fikiran—untuk mengumpulkan teman-teman yang memang sudah
lama tidak saling lempar canda yang dibumbui sedikit atau banyak rasa malu,
saling jatuhkan senyum, saling lontar pandangan, bahkan yang dirasa sedikit ekstrim
diantaranya ialah berlomba menerbangkan
para kaum hawa dengan segudang kata-kata yang agak sedikit ‘nakal’ rasanya. Tak peduli
itu disambut baik dengan rekah senyum oleh sang ‘korban’, atau malah disambut
sinis dengan hasil malu yang tiada kira dari sang ‘pejuang’, meskipun sebenarnya
tidak pernah terjadi sang ‘pejuang’ lari tunggang langgang
bak rusa hutan, karena malu. Memang saat ramai seperti itu tidak semua orang
peduli terhadap hal yang dirasa indah semacam itu, ada
juga yang berdingin-dingin ria sambil menampakkan wajah bekunya. Jika sedikit
direnungkan, justru itulah kemudian yang menjadi bumbu rahasia dibalik
gencarnya suasana meriah tersebut.
“Masa muda masa yang
berapi-api”, ungkapan bung Roma
yang membuming sekitar tahun 70-an tersebut, ternyata masih relevan dengan
kondisi remaja masa kini. Diakui atau tidak, percaya atau tidak itulah yang
terjadi kala perkumpulan menjadi sebuah pupuk kompos yang sangat luarbiasa, untuk menjadikan spirit bagaikan api unggun
raksasa dipuncak Himalaya. Tak terkecuali, sentuhan para sesepuh menjadi aktor
utama dalam suksesnya sebagian para ‘pejuang’ dalam rangka terbang-menerbangkan para ‘korban’-nya.
Dengan sedikit
penuh kesalahan dibulatkanlah tekad untuk mengajak keluarga tercinta menuju pada ‘kebahagiaan’. Dengan harapan yang
setinggi langit itu, dibangunlah sebuah formulasi kata-kata yang tidak sampai memakan
dua pesan. Meskipun tidak
serumit membuat makalah, tetapi diksi yang digunakan tidak boleh terkesan memaksa. Target sasaran bangunan kata tersebut bukan kepada
kepatuhan dan hormat kepada sesama keluarga, tetapi dirasa lebih halus kepada kesadaran
akan kemenangan bersama menuju ‘kebahagian’. Meskipun tersendat
juga karena mungkin perkara geografis yang kurang memadai adanya jaringan, yang diluar kendali.
Nomer-nomer
tersayang lantas dihadirkan dan direnungkan, adakah yang terlewat? Adakah yang
belum dimasukan?, meskipun sempat hadir
pula serta terlintas, respon apa yang akan
diberikan?. Seiring berjalanya waktu, pesan itu mulai
tersebar di kurang lebih seantero plat AB.
Senyum lebar tak dapat dibendung ketika berbagai pesan
masuk dari nomer-nomer yang sudah lazim
itu. Memang
demikianlah yang dipikirkan sebelumnya, demikian sawangan yang kemudian
menjadi nyata, kata insya Allah menjadi aktor utama dan memang
primadona dalam berbagai responnya. Rasa lega pun mulai tumbuh seiring padat merayapnya
pesan yang masuk, sehingga menjadikan segala
sesuatu terasa ringan, bahkan enam kilometer pun sempat terlupakan beberapa
saat. Larutnya malam tidak menjadi tanda larutnya semangat untuk berduel dengan
lawan sejati, adu strategi, penempatan posisi pemain, pemilihan club kesangan liga inggris menjadi agenda
selanjutnya dalam buaian malam yang semakin membius.
Terlambatnya bangun pada pagi itu, hari senin
tepatnya, merupakan awal yang kurang baik dalam rangka menjemput dan
menjelajahi hari yang benar-benar mengadu domba. Hari itu seakan sengaja dibuat
untuk menabrakan berbagai agenda yang seabreg banyaknya. Mendaki kampus
dan keluar masuk hutan pendidikan seakan telah menjadi akhlaq dalam
beraktifitas, benar-benar hal itu tidak perlu rasanya untuk dipikirkan. Mendengarkan
siraman rohani dari ceramah dosen juga lama-kelamaan semakin memanjakan mata
untuk beristirahat, “tak apa tidur dikelas
juga, toh ilmunya ada dibuku, bisa dibaca sendiri”, demikian kira-kira guman kelopak mata kepada si hati
yang selalu jaim.
Saat panas matahari mulai melamah, adzan ashar pun
terdengar bagaikan sorak-sorai sekumpulan burung yang sangat banyak. Dimulai
dari handphone
yang
senantiasa mengumandangkan adzan, sampai speker yang tadinya berfungsi sebagai
pengumuman akademik pun pada saat yang hampir berbarengan, serentak meninggikan
nama pencipta alam semesta ini sambil memuji utusan-Nya Yang sangat terpuji, dan mengajak orang-orang untuk
berbondong-bondong menuju mesjid. Tapi pada saat yang berbarengan pula silat
lidah sang dosen terus berapi-api mengeluarkan kata-kata
mutiaranya. Sampai akhirnya sampai pada kata yang ditunggu-tunggu semua orang,
“baik waktunya tiga menit lagi, bagi ada yang bertanya, tanyakan minggu depan, mari kita tutup dengan bacaan
hamdalah, waalaikumsalam..”. sambil
mengumpulkan kedua tugas yang dibebankan minggu kemarin, beraraklah para
pendengar setia itu menuju keluar.
Ketegangan yang akan dirasakan manusia, selama dia
hidup, tidak akan pernah hilang. Habis lega dari ketegangan yang satu, kembali
ditegangkan oleh ketegangan-ketegangan yang lain,
demikian kira-kira tafsiran surat Al-Insirah jika ditarik dalam
konteks ini, “inilah hidup”. Begitu gumamku.
Setelah keluar dari hutan pengajaran
itu, langkah maju yang semakin cepat akhirnya berhenti pada sebuah mushola
kecil dipojok bangunan fakultasku. Dengan wajah agak basah bekas tersiram air
wudlu, dan dengan ketegangan yang terlukis jelas pada wajahku saat berkaca,
setelah itu aku memberanikan diri untuk menghampiri sebuah perkumpulan—salah
satu organisasi yang diikutiku—untuk mengikuti rapat sore. Sebelumnya dengan
terbata-bata dan setengah ragu, aku berusaha mengingatkan para tersayang akan
acara yang semalam direncanakan serta diumumkan. Tidak seperti sebelumnya,
sekarang, seiring banyaknya pesan yang masuk sebagai respon aksiku tadi,
lukisan tegang tetap tidak bisa begitu saja dihilangkan. setengah murung aku
membaca satu-persatu pesan yang masuk sambil berpikir, apa yang salah? Apa yang salah?.
Meskipun sebenarnya sudah disadari bahwa ke-mendadakan-nya itulah salah satu
kesalahan besar yang aku ciptakan sendiri.
Bayang-bayang rasa tidak
percaya terus menggerayuti hati dan fikiranku, kemenagan dan
‘kebahagiaan’ yang idamkan, sekarang seakan sirna tak berpamit. Entah kemana
perginya. Sampai akhirnya simbol kemenangan berkumandang, refleks kata hamdalah
yang pertama keluar, meskipun tetap
masih dibawah bayang-bayang rasa sulit memaafkan diri sendiri. Setelah
bercengkrama dengan kurang khusu bersama Tuhan, meski dengan kaki agak
gemetaran aku berusaha menuju kebahagian yang diskenariokan sendiri sebagai
kebaghagiaan paling luar biasa. Itulah
kebahagiaan yang nyata, melapas dahaga dan melenyapkan rasa lapar yang terus
berkomentar dari siangnya.
Sambil berpikir
untuk membalikan keadaan, aku berusaha mencari solusi, minimalnya bisa meminta
ketulusan maaf dari tersayang yang katanya tidak kebagian pesan rencana ‘kebahagiaan’
tadi malam. Dengan semangat islah dia terus berkomunikasi dengan nomer
yang belum diberi nama untuk kemudian berunding dan sharing, meskipun
niat utamanya bertemu dan mengobrol masalah pembentukan divisi-divisi
organisasi, itulah mungkin obat mujarab dikala badai pusing melanda. Laksana
Jiwa yang tersiram air kehidupan, terasa segar lagi ketika mendapat respon yang
sangat membahagiakan, “iya bisa, aku kan wonder women, tapi setelah beres makan
ya, soalnya tadi habis rapat, mau ikut acranya takut nggak ada temen, maaf ya”
demikianlah kira-kira air kehidupan itu. Entah dapat petuah dari mana, dan
entah bagaimana ceritanya, nomer yang belum bernama itu kuanggap sebagai
seseorang yang rumahnya dekat dengan kampus, mungkin alasan yang paling kuat
adalah, bahwa pada pesan sebelumnya nama orang yang dekat rumahnya dengan
kampus itu pernah muncul. Akhirnya dengan rasa optimis yang begitu dalam diyakinanilah
bahwa nomer itu adalah dia, yang rumahnya dekat dengan kampus. Untuk simbol
kedekatan lantas kata “curhat” yang dipilih untuk mengirim pesan sebagai maksud
dari perlunya sharing tersebut. Sebelum hendak menghadapnya,
terlintas gagasan untuk membeli buah tangan, minimal berupa minuman segar yang
pas dinikmati sehabis menuju ‘kebahagiaan’, tanpa ragu dan dengan koceh seadanya
beranilah untuk berdiri dan memilih-milih minuman mana yang pas di dalam indomaret
sederhana itu.
Adzan isya mulai
terdengar dimana-mana, sebagai pertanda mega merah yang berada di barat sudah
pupus. Langkah yang begitu meyakinkan kutempuh menuju kediaman yang rumahnya
dekat dengan kampus, tetapi getar handphone di saku berhasil menahan segala
pergerakanku, dengan wajah lelah, terbacalah pesan yang menyatakan dia belum
berada di kediamannya, “nanti kalau sudah di kediaman beritahu ya”, demikian
sambutku, sebagai jawaban atas pesan ketiadaan di kediamannya tersebut. “Okke
siip”, demikian jawaban dia yang rumahnya dekat kampus. Wajah murung dengan
menatap langit gelap, terus memberi suasana melankolis pada hati dan fikiran,
diputuskanlah untuk pulang dahulu, meskipun jaraknya dirasa jauh.
Persis setelah
datang dirumah, setalah sebelumnya menyapa hangat para tersayang lainya, masuklah
pesan yang menyatakan dia sudah berada di
kediamanya. Sekali lagi air kehidupan itu menyirami hati yang hampir layu ini.
Dengan kerjasama bersama seorang tersayang, berangkatlah dengan memakai motor
menuju rumah kediamanya. Rasa buntu dialamai ketika melihat handphone
mati tanpa sekarat, dengan balutan almamater sekolahku dulu dan sebelah lengan
memegang helm, aku masuk halaman pintu rumah yang kala itu agak susah dibuka.
“permisi Bu, dia yang rumahnya dekat kampus ada Bu?”, tegas jawabnya, “maaf
Mas, tidak ada, baru saja dia keluar, katanya mau beli jagung bakar”. Rasa aneh
mulai menggoda fikiranku. Satu hal yang muncul dikepala adalah kembali ke rumah
dan mengisi battery yang tadinya mati suri itu. handphone kembali
hidup bagaikan baru disihir. “kok belum datang juga?, padahal ini sudah di
rumah”, begitulah isi pesan yang diterima setelah di rumah, “tadi saya sudah ke
rumahmu, tapi kata bu kost nya sedang keluar”, jawaban bernada pembelaan tak
bisa dielakan munculnya dari benakku, “sebentar, kost yang dimana?, masalahnya di
tempat kediamanku tak ada bu kost”, saling bela akan pendirian mulai
terjadi, dan itu benar-benar terasa segar bagaikan jalan menuju titik pertemuan
yang dinantikan. “ya kost yang biasalah, kamu kan disana, itu bu kost yang
tempatnya di lantai satu, yang suka menjahit”, kemudian datang seuntai jawaban
yang menyesakkan, “ini benarkan pesan buat saya, yang rumahnya jauh dari
kampus?, bingung”, serasa melihat matahari terbelah, benar-benar tidak percaya.
Tapi kemudaian hadirlah sebuah kejelasan mengenai kekeliruan yang sangat besar
untuk kedua kalinya. Ternyata—meski dengan sedikit tak percaya—nomor tak
bernama yang selama ini dianggapnya sebagai
dia yang rumahnya dekat dengan kampus, adalah dia yang rumahnya jauh dari
kampus. Memang benar pula aku tidak pernah tahu dimana tepatnya rumah dia yang
jauh dari kampus itu.
Rasa tak percaya
terus menggoda hati untuk menangis sekeras-kerasnya. Dengan sedikit usaha, aku
berusaha membuktikan kebenaran itu, setelah dilihat nomer itu baik-baik dan
disamakan dengan handphone yang lainya, bagai disambar petir di siang bolong,
ternyata benar nomer itu milik dia yang jauh rumahnya dari kampus. Terbukalah
segala kerancuan yang menghancurkan hati sembari mencekik erat-erat urat
leherku. Ternyata pesan yang didapat saat minggu sore itu, nomer dia yang jauh
rumahnya dari kampus. Kenyataan ini sangat sulit sekali diterima, rasanya fisik
ini tidak pernah siap menerima kebenaran, sehingga sekali mendapat kebenaran
bagaikan dicabik gigi tajam serigala. Begitu sakit dan ngilu, jerit
tangis yang terbatas dalam ruang hati pun serentak menambah kacau keadaan,
benar-benar jasad ini bagaikan fenomena gunung es, bahkan bagaikan gunung es
yang siap meletupkan lahar panas serta amukan batu dan debu ke segala arah.
Rasa sesal tiada
tara tidak saja tertuju pada diri ini yang begitu ceroboh, tetapi juga sebagian
amuk itu tertuju pada handphone yang dirasa tidak logis. Padahal
jelas-jelas nomer Hp dia yang jauh rumahnya dari kampus, sudah di-save baik-baik,
malahan ada dua nama berbeda dengan satu nomer yang sama, tetapi setiap ada
pesan masuk dari nomernya tidak tertera nama sebagaimana yang telah dibuat. Dalam
hati berkata, “mungkin ada nomer tersebut yang pernah di-save tanpa
nama, sehingga ketika ada ada pesan masuk, yang muncul adalah save-an
yang tidak bernama tersebut. Hasil mengecewakan akhirnya didapat, dalam handphone
yang kolot ini hanya ada empat nomer yang tidak diberi nama, dan
nomernya jelas-jelas tidak ada.
Meski penting,
ucapan maaf kala itu menjadi kecil, bila dibandingkan dengan kekesalan dalam
diri, sehingga timbul anggapan, bagaimana mungkin dia mudah memaafkan ini, sedangkan
pribadi pun susah memaafkan diri. Bingung tiada bertepi, mengharap keajaiban
yang mustahil adanya, karena keinginan adalah kembali ke minggu sore dan
memulai lagi semuanya dengan benar. Tidak tahu bagaimana perasaannya tapi yang
jelas tergambar dalam benakku rasa tak karuan sama berlabuh dalam hatinya, yang
rumahnya jauh dari kampus, sebagaimana perasaan itu mendarat tepat dihatiku.
Melewati masalah
ini tanpa merenungkan ‘pelajaran’ yang dapat dipetik, merupakan kesalahan besar
ketiga nantinya. Biarlah dua kesalahan dan kealpaan masa lalu menjadi bibit
bagi kebenaran di masa mendatang, begitu kira-kira harapan yang muncul, setelah
sebelumnya semua harapan sudah ludes. Ke-mendadak-an, ceroboh, so tahu,
merupakan sebagian rangkaian kesalahan yang sangat menghantui, diantara
kesalahan-kesalahan lain yang tidak muat rasanya bila harus ditulis dalam ruang
yang serba terbatas ini. Memang fikiran untuk menjadi lebih baik, berjanji
tidak mengulangi, tidak akan terjerumus lubang yang samam dua kali, lebih banyak
belajar, siap teliti dalam segala aspek, menjadi bintang film dalam tanyangan dan
bayangan fikiran dan hati. Lebih jauh dari itu semua, hal mendasar yang harus
segara dibenahi berupa minta maaf yang sebesar-besarnnya juga turut menjadi
sutradara dalam film tersebut. Memaafkan memang tidak semudah membalikan
telapak tangan, memang benar juga ungkapan Irfan Amalee dalam bukunya Boleh
Dong Salah, “kata maaf adalah kata paling mahal didunia”. Bersebrangan
dengan ungkapan sebagian orang yang ‘selalu ingin dimaafkan’, “masa Tuhan aja
Maha Pemaaf”, rasanya sangat tidak pantas bagiku untuk mengikuti jejak langkah
kaum ‘pemaksa’ tersebut, tapi sekiranya mampu dengan hati tulus untuk
memaafkan, bagiku merupakan hujan air kehidupan yang baru turun setelah setahun
lamanya kemarau melanda.
Sebesar
kesalahanku, demikianlah pinta dan harapan maaf bagiku.